
IKWAN SETIAWAN
Membaca Basic Instinct 2 sebagai tutur mitis
a. Sinopis film
Basic Instinct 2 merupakan sekuel dari film pertama Basic Instinct yang memperoleh sukses dalam distribusinya. Basic Instinct 2 tetap mengetengahkan cerita tentang hasrat dasar manusia untuk melakukan berhubungan seksual dan melakukan kekerasan. Ketika hasrat tersebut tidak bisa dikelola dan dikendalikan maka akan menjadi sebuah awal bagi kehancuran yang mengerikan. Film ini, pada awalnya bertutur tentang kecelakan mobil yang melibatkan seorang novelis perempuan, Catherine Tramell, dan seorang olahragawan kulit hitam, Frank. Dalam kondisi ekstase, karena pengaruh obat-obatan, Catherine mengemudikan mobil dalam kecepatan tinggi sembari berusaha ‘memuaskan’ hasrat seksual Frank dengan salah satu satu tangannya, sementara tangan yang lain tetap mengemudikan mobil. Setelah memuaskan Frank, ia ‘memuaskan’ hasrat seksualnya sendiri. Karena tidak menguasai keadaan, tiba-tiba mobil menabrak pagar pembatas dan tercebur ke sungai. Catherine selamat sementara Frank tewas.
Catherine harus menghadapi investigasi penyelidik kepolisian. Ia berkelit dengan bermacam alasan meskipun ada bukti-bukti yang menyudutkannya. Setelah penyelidikan usai, ia diharuskan menjalani evaluasi psikologis terkait dengan kekhawatiran akan gangguan kejiwaan. Dr. Michael Glass, seorang psikiater yang biasa menangani kasus-kasus kejahatan dan gejala kejiwaan—dalam film ini disebut analis, mendapatkan tugas untuk melakukan evaluasi. Meskipun, Catherine berusaha merayu dan membangkitkan hasrat seksualnya, Glass tetap memegang kode etik untuk tidak terpengaruh melakukan hubungan seksual. Dari proses evaluasi itulah, terbongkar bahwa Catherine merupakan sosok penulis yang menyukai pengalaman-pengalaman akan hubungan seksual, kekerasan, dan pembunuhan, sebagaimana tergambar dalam novel-novelnya yang lain. Rupanya, dari proses evaluasi tersebut, dan pendalamannya akan karakter Glass, Catherine merencanakan untuk membuat satu novel baru yang menceritakan kehidupan seorang analis dan hasrat kekerasan dan seksualitasnya. Sementara Glass, sebenarnya ingin menolak untuk berhubungan lagi dengan Catherine, namun ia sendiri tidak bisa melepaskan diri dari bayang-bayangnya, karena ia sudah masuk dalam skenario yang diciptakan Chaterine: peristiwa-peristiwa mengerikan yang nantinya dituliskan dalam novelnya.
Mulailah terjadi peristiwa-peristiwa pembunuhan yang menimpa orang-orang yang dikenal Glass. Meskipun, belum diketahui siapa pembunuhnya, tetapi beberapa bukti mengarah pada Glass. Dalam keadaan galauh, Glass selalu mencoba membuat analisis-analisis untuk melogikan apa yang sebenarnya terjadi. Namun itu semua, tidak bisa melepaskan dirinya dari kuasa Catherine yang mampu menciptakan misteri-misteri baru. Ternyata, kegalauan serta permainan logika dalam pikirannya malah menggiring Glass untuk berhubungan badan dengan Catherine. Ketika berhasil membaca salinan novel yang ditulis Catherine, Glass semakin sadar bahwa ia telah menjadi korban permainan Catherine demi memenuhi skenario novelnya. Kesadaran tersebut tidak mampu menolongnya, karena ia sudah terlanjur jauh masuk dalam permainan, dan akhirnya karena kebingungan dan pengaruh omongan Catherine, ia membunuh kepala penyelidik yang menginvestigasi kasus pembunuhan misterius tersebut. Akhirnya ia harus masuk rumah sakit jiwa. Dan pada akhir cerita, Catherine membesuknya smebari membawa novel barunya yang berisi kisah-kisah yang terjadi dalam kehidupan Glass. Hebatnya, dalam novel tersebut dengan jelas Glass digambarkan sebagai pembunuh berdarah dingin yang menyebabkan kematian si detetktif. Dan, Catherine melenggang dengan senyum, meninggalkan Glass yang larut dalam ‘kegilaannya’.
b. Perempuan, kecerdasan, dan sensualitas tubuh: analisis
Film ini dengan apik mampu mengetengahkan sebuah problem psikis yang dimiliki oleh setiap manusia. Manusia, apapun karir maupun jenjang intelektualnya, pada dasarnya tetap memendam hasrat liar dan anarkis untuk melakukan kekerasan dan hubungan seksual. Dengan memainkan kode-kode naratif yang seringkali menimbulkan misteri, film ini berusaha menunjukkan betapa laki-laki sangat lemah ketika berhadapan dengan kemolekan tubuh yang kemudian menggiringnya pada hasrat penaklukan terhadap objek perempuan yang diicarnya. Dalam masyarakat patriarki, hasrat penaklukan, pada dasarnya, bearakar dan bertransformasi dalam ideologi patriarki yang menempatkan superioritas laki-laki dalam segala ranah kehidupan bermasyarakat, dari ruang privat rumah tangga hingga ruang publik pekerjaan dan politik (Walby, 1989: 213-229).
Namun, dengan menciptakan tokoh utama perempuan sebagai seorang penuliscerita misteri-psikologis, yang tentu saja mempunyai daya nalar-imajinatif mumpuni, film ini berusaha ‘membalik’ naluri penaklukan tersebut sebagai awal terjadinya kehancuran yang dialami laki-laki karena si perempuan mampu ‘berpura- pura secara sadar’ menggunakan tubuhnya untuk membebaskan dirinya dari jeratan tuduhan pembunuhan yang ia lakukan dan sekaligus menghancurkan hidup si laki-laki, psikiater. Dari konteks tersebut, bisa dilihat adanya ambiguitas pesan yang hendak disampaikan oleh film tersebut. Dari sisi feminisme radikal, apa yang diceritakan film ini bisa dilihat counter-hegemony terhadap ideologi patriarki yang masih berkembang dalam masyarakat barat higga saat ini, melalui “politik tubuh” yang dilakukan oleh si penulis perempuan. Artinya, si penulis benar-benar secara sadar menggunakan tubuhnya untuk ‘menaklukkan’ hasrat seksual si psikiater, untuk kemudian membebaskannya dari penyelidikan akan tindakan kriminal yang dilakukannya. Namun, dari sisi kajian semiotika-psikoanalisis yang dikembangkan Laura Mulvey, kemolekan dan sensualitas tubuh si perempuan digunakan untuk memenuhi fantasi voyueristik audiens (dalam hal ini laki-laki), dimana melalui eksploitasi tubuh yang ada dan didukung narasi serta teknik-teknik sinematograif, perempuan hanya menjadi ikon yang dipamerkan untuk pandangan dan kenikmatan laki-laki yang digunakan dalam konteks skopopilik, kenikmatan dengan memandang orang lain—dalam hal ini perempuan—yang berfungsi sebagai stimulan insting seksual, dan narsistik yang menunjukkan libido ego di penonton (1989: 14-19).
Dengan memposisikan film tersebut sebagai mitos, bisa jadi akan mendapatkan pesan ideologis yang berbeda. Kalau dari perspektif Mulvey, sensualitas dan eksplorasi hubungan seksual semata-mata hanya dibaca sebagai objek untuk pemuasaan hasrat kelelakian, dari perspektif mitos analisis akan bergerak dalam wilayah narasi filmis yang mengusung satu pesan ideologis dalam kode-kode naratif yang tersebar ke dalam adegan-adegan dalam masing-masing scene. Bahwa kemolekan tubuh dan narasi yang menyertainya bukan sekedar menjadi pemuas hasrat dan kekuasaan laki-laki, tetapi di satu sisi mampu memberikan kesan pembebasan dan kemenangan perempuan dengan siasat tubunya. Di sisi lain, tetap mengurungnya dalam wacana tubuh yang menjadi satu-satunya senjata ampuh.
Sebagaimana dijelaskan dalam sinopsis, film ini dibuka dengan scene yang menceritakan bagaimana dalam kondisi ekstase, karena pengaruh obat-obatan, Catherine mengemudikan mobil dalam kecepatan tinggi sembari berusaha ‘memuaskan’ hasrat seksual Frank dengan salah satu satu tangannya, sementara tangan yang lain tetap mengemudikan mobil. Setelah memuaskan Frank, ia ‘memuaskan’ hasrat seksualnya sendiri. Karena tidak menguasai keadaan, tiba-tiba mobil menabrak pagar pembatas dan tercebur ke sungai. Catherine selamat sementara Frank tewas.
Dari keseluruhan adegan dalam scene tersebut—sebagai tanda linguistik, bisa dicermati betapa Catherine, dalam kondisi ekstase, sangat menikmati berhubungan dengan Frank. Sebagai makna, pemaknaan denotatif tersebut, sebenarnya mengandung latar belakang historis yang ditandai dengan pergulatan panjang cerita rasialis di Amerika Serikat. Seorang laki-laki kulit hitam, dalam era politik rasialis, tentu akan susah untuk berkencan dengan seorang perempuan kulit putih. Bahkan dalam setiap aspek kehidupan—dari ranah pekerjaan hingga penjara, seorang kulit hitam akan mendapatkan perlakuan diskriminatif. Bahkan dalam film- film Hollywood, warga kulit hitam masih direpresentasikan sebagai subjek-subjek yang seringkali melakukan tindak kriminal dan pengguna narkoba yang mengganggu ketertiban dan keamanan serta identik dengan wilayah-wilayah kumuh dan kehidupan gangster. Periode panjang perjuangan kulit hitam menghasilkan sedikit banyak kesamaan hak, baik dalam ranah pekerjaan maupun representasi media, meskipun jejak-jejak rasialis tetap tidak bisa dihilangkan begitu saja. Seperti dalam scene awal ini, perjuangan dalam bidang olah raga oleh si atlit ternyata harus berhadapan dengan realitas ketidakberdayaannya menghadapi kecerdasan dan keliaran hasrat Catherine. Artinya tetap ada dorongan nalar kreatif dari Catherine untuk mau berhubungan dengan Frank. Bahwa orang-orang kulit putih dengan pikirannya tetaplah berkuasa terhadap kulit hitam yang banyak mengandalkan keterampilan ototnya melalui olahraga. Dan, lebih spesifik lagi, Catherine dengan segala kecerdasan dan sex appeal-nya, mampu menaklukkan kehebatan si atlit, dengan membuatnya meninggal.
Ketika menjadi bentuk, sebagaimana yang dicitrakan dalam adegan-adegan yang ada, semua pengetahuan, sejarah, maupun budaya yang melatarbelakanginya menjadi berjarak, meskipun tidak hilang sepenuhnya. Dengan teknik pengambilan gambar yang begitu cepat dan suasana gelap—di dalam mobil—serta ekspresi kenikmatan yang dialami Catherine maupun Frank, scene ini dengan jeli dan sangat natural berhasil mengatakan bahwa kecelakaan dan kematian yang dialami oleh Frank memang wajar karena ia dan Catherine sama-sama mencapai klimaks sehingga kemudinya oleng dan tercebur ke sungai. Bahwa Catherine sudah berusaha untuk menyelamatkannya dari maut, tetapi tidak bisa dan ia berusaha menyelamatkan dirinya sendiri. Dengan adegan-adegan tersebut, kehadiran konsep dalam scene ini sangatlah wajar dan natural sehingga mampu membicarakan dan menghadirkan: kecerdasan, keliaran, dan sex appeal perempuan kulit putih yang mampu menaklukkan (membuat celaka) laki-laki kulit hitam. Semua perjuangan Frank dalam ranah olahraga dan semua prestasi-prestasi briliannya, hanya menjadi sebuah fakta yang hadir dan tidak bermakna apa-apa karena ia tetap kalah dan tampak dungu dalam menghadapi kecerdasan dan tampilan sensual Catherine.
Tiga scene berikutnya yang dianalisis, berada dalam ruang konsultasi dimana terdapat Glass dan Catherine, dimana Chaterine berusaha menyelami kepribadian Glass, sekaligus berusaha merayunya dengan kemolekan tubuh untuk menggiringnya dalam skenario cerita yang hendak ditulisnya. Karena ketiga scene tersebut berisi konsultasi dengan tema pembicaraan yang sama, maka ketiganya bisa dijadikan satu sub-mitos. Pada secene pertama dari ketiga scene tersebut, Catherine menceritakan harat liar dalam tulisannya, yang berkaitan dengan kekerasan, hubungan seksual, dan pembunuhan.

Catherine hanya mengenakan gaun tanpa lengan dan berbadan rendah, sehingga bagian dadanya terlihat sebagian. Sementara Frank berpakaian jas lengkap, ala orang kantoran, dengan muka agak heran memperhatikan si perempuan. Kesan intelektual dan profesional dengan jelas tergambar diri Frank. Ia adalah representasi dari nilai-nilai intelektual dan profesionalitas pria modern yang harus selalu tampak elegan, tenang, dalam menghadapi situasi apapun. Sedangkan, Catherine dengan pakaian dan aksesoris yang dikenakannya, merupakan representasi keliaran, sensualitas, dan semangat untuk menaklukkan Glass. Adapun sudut pengambilan gambar, lebih banyak diarahkan kepada tubuh dan wajah Catherine (medium) dengan sesekali medium-close up pada wajah dan tubuh si psikiater yang dengan intens mendengarkan dan memperhatikan si perempuan. Dari penggalan adegan yang ada, jelas sekali bahwa Catherine berusaha untuk mendapatkan perhatian dari Glass serta mempengaruhinya.
Di scene berikutnya, Catherine mengatakan bahwa mungkin ialah yang menyebabkan kecelakaan dan kematian Frank. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ia selalu punya fantasi liar. Bahkan, ia punya pikiran untuk membunuh semua tokoh dalam novelnya. Lalu, ia bertanya kepada Glass apakah ia akan melaporkannya kepada polisi, namun Glass menjawab tidak dengan sekian argumennya. Lagi-lagi, Glass tetap mengenakan stelan jas formal sementara si perempuan mengenakan baju yang tetap berleher pendek, meskipun berlengan panjang. Sudut pengambilan gambar tetap menggunakan medium-close up dengan fokus pada aktivitas-aktivitas Catherine yang berusaha menundukkan tubuhnya sehingga sebagian dadanya, lagi- lagi terlihat, dan bagaimana Glass memandangnya. Rupanya, Catherine sudah mulai lebih berani dalam memperlihatkan tindakan-tindakan yang bisa menimbulkan stimulus seksual bagi Glass. Melihat suasana tersebut, Glass tetap berusaha untuk tenang dengan bersandar di kursinya.

Pada scene selanjutnya, Catherine mengatakan bahwa yang tampak riil dalam kehidupan ini hanyalah teriakan, ketakutan, kematian, dan hubungan seks. Di samping itu, ia juga menceritakan pengalamannya dengan novel-novel sebelumnya yang ditulis dari kisah nyata yang ia alami, termasuk pembunuhan dan hubungan seksual. Tidak lupa ia bertutur tentang pengalaman seksualnya dengan pria kulit hitam selama empat jam yang dipenuhi dengan teriakan, ekstase, dan tindakan- tindakan kasar lainnya. Scene ini dibangun dari adegan-adegan yang menandakan suasana konsultasi yang cukup rileks, dimana Catherine rebah sambil tiduran di kursi, sementara Glass duduk di sampingnya agak ke belakang. Kalau pada dua scene sebelumnya, susana pencahayaan masih cenderung terang, maka dalam scene ini cahayanya lebih temaram.

Sudut pengambilan yang medium dan medium close up diarahkan pada suasana yang terbangun santai tapi serius dalam adegan-adegan yang ada. Catherine sangat ingin mengarahkan dan menggiring pikiran Glass sehingga ia bisa mengendalikan kehidupannya hal itu didukung extreme-close up terhadap segala tingkah lakunya dalam tiduran. Sedangkan extreme-close up pada wajah, paha, dan betis, dan lengan Catherine, menandakan betapa Glass, meskipun berusaha untuk tidak terpengaruh, tetap saja tidak bisa melepaskan pandangannya dari pesona yang ada di depannya. Penekanan dalam adegan ini adalah pada suasana rileks, santai dan seriusnya mimik Catherine dalam bercerita, serta ketertarikan Glass pada sensualitas Catherine.
Keseluruhan penandaan dalam ketiga scene yang dianalisis, secara denotatifmenggambarkan usaha Catherine—dengan kemolekan tubuh, sex appeal, dan kecerdasan retorikanya—untuk mempengaruhi dan menggiring pemikiran Glass sehingga ia akan tejebak dalam skenario novel yang diciptakannya. Namun, dalam keseluruhan adegan, baik dalam hal cara bercakap, maupun berpakaian, mengetengahkan makna yang sarat dengan pengetahuan ideologis dan kultural. Dari cara berpakaian yang dikenakan Glass dan mimik wajah serta caranya menanggapi lontaran Catherine, misalnya, bisa dibaca adanya kompleks ideologis (ideological complex) yang beroperasi[1] dan menjadikannya bertindak dan berperilaku demikian. Glass, bagaimanapun, adalah representasi dari pria karir modern yang secara ideologis dituntut untuk berpakaian rapi dan formal karena hal itu akan menandakan keseriusan, keeleganan, dan intelektualitas. Sebagai analis ia dituntut untuk tetap tenang dalam melakukan proses evaluasi terhadap pasien, seliar atau secantik apapun pasiennya. Ia terikat kode etik yang melarangnya untuk secara psikis maupun fisik terlibat relasi ‘X’ dengan pasiennya karena itu semua akan mengacaukan hasil analisisnya. Dengan bersusah payah, ia tetap ingin mempertahankan dan menjalankan kode-kode yang mengikatnya sebagai seorang analis, meskipun dari cara ia memandang dan memperhatikan kemolekan tubuh Catherine, jelas sekali bahwa ia kurang bisa menguasai diri dan pikirannya.
Sedangkan Catherine, dari cara berpakaian, bertingkah, dan beretorika, menandakan bahwa ia merupakan contoh dari ‘perempuan liar’ yang mempunyai imajinasi dan kecerdasan dalam mengendalikan dan mengatasi masalah yang ia hadapi. Berprofesi sebagai seorang novelis yang menghasilkan karya-karya best- seller, ia adalan perempuan mandiri yang mampu mengolah dan mengasah imajinasi kreatif, kecerdasan, dan keliaran fantasi yang dimilikinya. Di samping itu, ia adalah perempuan yang sangat menyadari akan tubuhnya dan akibat-akibat yang bisa disebabkan dari pemaknaan tubuhnya, baik oleh dirinya sendiri maupun laki-laki yang dihadapinya. Dengan penuh kesadaran dan talenta ia mampu mengolah potensi-potensi tersebut dalam bentuk tulisan. Bahwa ia mempunyai hasrat dan fantasi, itu memang benar. Tetapi ia mampu menggunakannya untuk mempengaruhi orang lain sehingga bisa dikendalikan dan menjadi bagian dari cerita yang hendak ditulisnya. Dan, bukan hanya laki-laki dengan rasionalitas dan kecerdasan serta hasrat kuasanya yang bisa mengendalikan perempuan, sebaliknya, pun perempuan mampu melakukan hal serupa, meski harus mencampur kecerdasannya dengan kemolekan dan sensualitas tubuh yang ia miliki.
Segenap kekayaan
makna diatas mengendap ketika direpresentasikan dalam bentuk adegan-adegan
dalam ketiga scene tersebut. Yang
tersuguhkan hanyalah bagaimana Catherine
beretorika dan berusaha
mempengaruhi Glass dengan gesture-gesture dan pakaian yang
menggoda serta bagaimana usaha Glass yang dilingkupi kebimbangan untuk
mempertahankan prinsip-prinsip ideologisnya. Tentu ada satu intensi
dan motivasi yang memunculkan tanda-tanda filmis-mitis dalam ketiga scene tersebut, sehingga dengan begitu wajar menjadi adegan-adegan natural yang mengalir dan mampu menjadi satu kewajaran. Ketiga scene di atas secara meyakinkan mampu menghadirkan
konsep
tentang kecerdasan dan sensualitas perempuan yang dijadikan
senjata untuk menaklukkan laki-laki. Bahwa Glass adalah
orang pintar, itu hanya menjadi data yang melengkapi narasi. Karena sepintar
dan sekuat apapun dalam
mempertahankan prinsip toh, ia tetap terpengaruh dengan kemampuan retoris yang didukung dengan sensualitas dan gesture yang dibawakan oleh Catherine. Bahwa Catherine memang cerdas dalam memainkan perasaan
Glass.
Namun, ia tetap membutuhkan bantuan tubuhnya untuk mampu mengacaukan pikiran Glass. Scene-scene selanjutnya lebih banyak bertutur pengaruh permainan dan sex appeal Catherine dalam imajinasi dan pikiran Glass. Salah satunya adalah ketika ia‘bercinta’ dengan rekan yuniornya, ia terus memandang wajah Catherine yang ada dalam sampul novel yang baru dibelinya di toko.

Tatapan mata Glass yang mengarah kepada foto Catherine yang ada di sampul novel, memperlihatkan bahwa ia sebenarnya juga terobsesi untuk berhubungan badan dengannya. Dengan menatap foto tersebut, Glass mencoba membayangkan sensasi-sensasi yang akan diperoleh ketika ‘melakukannya’ bersama Catherine. Lebih dari itu, dengan memandang foto itu, tampak Glass memunculkan ‘hasrat purbanya’ untuk melakukan hubungan seks dengan cara yang ekstrim. Untuk melampiaskan itu semua, ia melakukannya pada rekan yuniornya. Adegan-adegan yang ada dalam scene ini berusaha menunjukkan betapa Glass, sebenarnya, sudah mempunyai permasalahan psikis berkaitan dengan perikaku seksual yang disukainya, seks dengan kekerasan. Dalam adegan-adegan sebelum ia memandang foto Catherine (maaf tidak ditampilkan dalam analisis ini!), ia berperilaku wajar dalam berhubungan seks. Setelah melihat wajah Catherine itulah ia berperilaku kasar dalam bercinta. Sosok Catherine, meskipun hanya diwakili fotonya, telah berhasil memunculkan dorongan instingtif Glass untuk menguasai lawan jenis dengan permainan seks yang kasar. Sekali lagi, penandaan-penandaan filmis-mitis dalam scene tersebut ingin mene gaskan betapa sensualitas tubuh perempuan yang menjadi obsesi bisa memunculkan keliaran perilaku seksual seeorang yang biasa menangani keliaran tersebut. Dorongan instingtif yang selama ini ia jaga dan kekang melalui kode etik analis dan perilaku profesionalnya, mencuat kembali hanya karena foto sosok perempuan yang menjadi obsesinya.
Permasalahan-permasalahan misterius yang hadir dalam kehidupan Glass, yakni pembunuhan-pembunuhan terhadap orang-orang yang ia kenal, termasuk wartawan yang pernah meliputnya. Ia mulai berasumsi bahwa Catherine-lah yang merencanakan dan melakukan semua pembunuhan itu, demi tuntutan naskah novelnya yang baru. Glass bersikap wajar, tenang, dan tetap rasionalistis, dalam menanyakan hal itu kepada Catherine ketika ia berkonsultasi. Namun, Catherine mengelak dan malah berhasil kembali mempermainkan pikiran dan jiwa Glass. Tidak tanggung-tanggung Catherine menanyakan apakah Glass ingin berhubungan seksual kepadanya karena ia bisa membaca keinginan itu dalam benak dan wajah Glass.

Mendengar dan memperhatikan apa yang dikatakan dilakukan Catherine, Glass mencoba
tetap tenang dan seolah-olah tidak terpengaruh. Menimbang
kondisi yang ada, Catherine semakin provokatif dalam melontarkan
pertanyaan tentang hasrat seksual Glass terhadapnya dan apa saja yang mungkin Glass inginkan ketika berhubungan badan dengannya. Bahkan ia tanpa rasa canggung mengatakan bahwa ia bermartubasi ketika membayangkan
Glass. Ketenangan, sekali lagi, harus
diuji dengan keliaran yang provokatif.

Adegan-adegan dalam scene di atas mengandung makna yang, lagi-lagi, mempertentangkan keliaran seorang Catherine yang mulai berani bersifat provokatif dengan mengaduk-aduk gejolak yang memang sudah ada dalam batin Glass yang disembunyikan melalui sikapnya yang masih tenang. Perempuan, sebagaimana direpresentasikan Catherine, bukan lagi menjadi makhluk penurut yang bisa dikendalikan seenaknya oleh laki-laki. Perempuan bukan lagi menjadi makhluk-makhluk bertutur lembut dan berperilaku sopan dalam berbicara. Perempuan tidak lagi tabu dalam membicarakan perilaku seksual. Realitas tersebut sangat sulit dijumpai dalam masyarakat yang masih mempertahankan hegemoni patriarki dalam segala lini kehidupan. Perjuangan gerakan feminisme dalam masyarakat Barat telah mampu memberikan wacana yang mengusahakan kesamaan dan kesederajatan antara laki-laki dan perempuan. Bahkan, kalau dulu perempuan dikendalikan laki-laki melalui penguasaan akan tubuhnya, di jaman ini sangat mungkin perempuan menguasai dan mengendalikan melalui tubuhnya juga.
Bentuk filmis-mitis
dari scene tersebut berlangsung dalam adegan-adegan yang dengan jelas membentuk
pencitraan kemampuan Catherine dalam mengaduk-aduk batin
dan hasrat seksual Glass yang disembunyikan
dalam ketenangan wajahnya. Pengambilan gambar close-up hingga extreme- close
up
pada
wajah dan paha Catherine yang seduktif
menunjukkan betapa berkuasanya ia kali ini dan Glass tidak mampu menyembunyikan
hasratnya dengan memperhatikan itu semua. Yang tampak kemudian
adalah bahwa dengan memperlakukan tubuh dan keliaran ucapannya sedemikian rupa
Catherine mampu menggiring pada munculnya hasrat
seksual dan penaklukan pada diri Glass. Satu konsep telah
hadir dalam scene tersebut bahwa perempuan mutlak membutuhkan keindahan tubuhnya untuk
berkuasa.
Sepertihalnya cerita Cleopatra yang menggunakan daya eksotis dan sensualitas tubuhnya untuk mampu menguasai Julius Caesar. Semua semangat perjuangan dan kecerdasan menghilang dan menjadi sekedar bahasa tubuh yang dipenuhi sensualitas.
(bersambung)
[1] Hodge & Kress (1988: 3-4) menjelaskan bahwa kompleks ideologis merupakan aturan yang disusun untuk membatasi tindakan dan kebiasaan dengan cara menstrukturasi versi-versi realitas yang menjadi dasar tindakan-tindakan sosial, dalam cara-cara particular.
Leave a Reply